Tuesday, 6 April 2010

Perdamaian Sebagai Implementasi Ajaran Tauhid

Perdamaian Sebagai Implementasi Ajaran Tauhid

Oleh: Choirudin Rona

Wujud dan Keesaan Allah SWT adalah suatu kepastian dan kenyataan. Petunjuk yang pertama kali bisa kita dapatkan dan ditempuh adalah dengan cara mencari pelajaran pada jalan yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Maka semua itu ada sesuatu yang tidak jelas bagi yang mau merenungkan dengan kemampuan intelegensianya yang minim sekalipun, tentang kandungan ayat-ayat Allah, baik yang Qauliyah dan Kauniyah. Kemudian mau melihat berbagai bentuk keindahan binatang dan tumbuh-tumbuhan yang diciptakan oleh Allah SWT. Maka akan jelas sekali masalah yang cukup menakjubkan dan tersusun secara rapi dan kokoh, tidak bisa lepas dari adanya Sang Pencipta Yang mengaturnya, dan Sang Pelaku Yang menentukan dan menakdirkannya. Bahkan fitrah jiwa manusia hampir mampu menyaksikan bahwa semua itu tunduk di bawah kekuasaan dan pengelolaan Sang Penciptanya.

Kerena itu Allah mengutus para Nabi untuk mengajak ummat manusia kepada ketauhidan dan mengucapkan kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah). Sementara mereka tidak pernah diperintah untuk mengatakan “kami memiliki Tuhan dan alam juga memiliki Tuhan”. Karena hal itu sudah dikodratkan di dalam fitrah rasional mereka, sejak mereka masih usia kanak-kanak hingga menjadi dewasa.

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka menjawab ‘Allah’”. (Q.S. Az-Zumar: 30).

Dengan demikian di dalam fitrah manusia dan bukti-bukti yang dikemukakan oleh Al-Quran sudah cukup untuk digunakan sebagai argumentasi. Tetapi demi mencari penjelasan dan mengikuti para ulama yang bisa berfikir lebih dalam, maka kami perlu mengatakan, bahwa dari pemahaman akal yang sangat sederhana saja bisa memahami bahwa terjadinya segala sesuatu yang baru (makhluk) mesti terkait dengan waktu tertentu, yang secara rasional akal boleh memperkirakan bahwa waktu di awal atau di akhir. Maka karena keterkaitannya dengan waktunya sendiri, bukan waktu sebelum atau sesudahnya, maka sudah barang tentu ia butuh penyebab yang menentukan.

Jika kita ingin melukiskan ajaran Islam dalam satu kata, maka kata itu adalah “tauhid”, demikian kesimpulan banyak pakar. Tauhid (keesaan Tuhan) merupakan suatu prinsip lengkap yang menembus seluruh dimensi serta mengatur seluruh aktivitas makhluk. Dari tauhid lahir berbagai ajaran kesatuan yang mengitari prinsip tersebut, misalnya kesatuan alam raya, kehidupan, agama, ilmu, kebenaran, umat, kepribadian manusia dan lain-lain. Kemudian dari masing-masing itu lahir pula tuntunan, dan semua beredar pada prinsip tauhid.

Kalimat syahadat (pengakuan akan keesaan Allah) diibaratkan oleh alquran sebagai suatu pohon yang akarnya teguh, cabangnya menjulang ke langit dan menghasilkan setiap saat buah yang banyak lagi lezat (baca QS 14:24). Pengakuan ini, disamping harus dibenarkan oleh hati, juga harus diucapkan agar diketahui oleh pihak lain. Tas dasar ucapan tersebutlah si pengucap memperoleh hak dan kewajibannya sebagai muslim.

Dengan syahadat, seorang muslim paling tidak mengakui keberadaan tiga pihak, yaitu Allah dengan segala sifat-sifat-Nya yang Mahasempurna, si pengucap yang menyadari kelemahannya di hadapan Allah dan pihak lain yang mendengar atau mengetahui persaksian itu. Tentu, sungguh berbeda sikap seseorang yang hanya menyadari keberadaan dirinya dengan mereka yang menyadari bahwa ia adlah mekhluk lemah di hadapan Allah dan makhluk sosial yang membutuhkan pihak-pihak lain dalam lingkungannya sehingga harus selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan itu. Inilah kaitan pertama antara syahadat dan lingkungan (terbatas).

Di sisi lain, seperti bunyi ayat di atas bahwa pengakuan akan keesaan Allah melahirkan sekian banyak buah. Salah satunya adalah keyakinan bahwa segala adalah ciptaan Allah dan milik-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang muslim untuk menyadari bahwa ada persamaan antara dirinya dengan makhluk lain. Semua adalah umat Tuhan, “burung-burung pun adalah umat seperti halnya manusia” (lihat QS 6:38). Pohon-pohon harus dipelihara, jangankan dalam masa damai, dalam masa perang pun terlarang menebangnya kecuali seizing Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan. Bahwa semua adalah milik Allah, mengantarkan manusia untuk menyadari bahwa apa yang berada dalam genggaman tangan-Nya tau jangkauan kemampuan-Nya tidfak lain kecuali amanah, sehingga “Setiap tanah yang terhampar di bumi, setiap tetes hujan yang tercurah dari langit, setiap nikmat yang dianugerahkan Allah akan diminta untuk dipertanggungjawabkan”, demikian kandungan penjelasan Nabi tentang ayat kedelapan surah Al-Kautsar. Dengan demikian, manusia bukan saja dituntut agar tidak alpa atau angkuh terhadap ciptaan Tuhan, tetapi juga dituntut untuk memperhatikan apa sebenarnya yang dikehendaki oleh sang Pemilik (Allah) menyangkut ciptaan itu.

Perdamaian salah satu tuntunan agama yang terpenting dan terlahir dari pandangan Islam tentang kesatuan alam raya. Sejak dari bagian yang terkecil sampai dengan wujud paling agung merupakan satu kesatuan benda tak bernyawa, tumbuhan yang layu maupun yang segar, binatang melata, manusia, bahkan malaikat-malaikat kesemuanya berada dalam kesatuan. Semuanya diatur dan mengarah ke satu tujuan, yakni kepada hakikat tauhid.

Alam dengan segala isinya, bergerak atas satu sistem yang telah ditentukan oleh-Nya. Manusia yang beragam ini berasal dari satu, Adam. Semua makhluk hidup memiliki satu kebutuhan pokok yang sama, dan dari yang satu ini mereka dapat melanjutkan hidupnya. “Kami jadikan dari air segala yang hidup, atau Kami jadikan air kebutuhan pokok semua yang hidup” (QS 21:30)

Dalam kesatuannya, seluruh makhluk harus bekerjasama. Nah, dari sinilah perdamaian memperoleh pijakan sehingga menjadi keharusan. Perang tidak dibenarkan, kecuali untuk meraih perdamaian atau dalam bahasa Islam disebut sebagai li ‘ila kalimatillah (untuk meninggikan kalimat Allah). Kalimat-Nya adalah kehendak-Nya dan kehendak-Nya tercermin dalam ketetapan-Nya yang mengatur system kerja alam raya dan kehidupan ini. Karena itu, tidak dibenarkan peperangan atas dorongan ambisi, fanatisme, ras, dan tidak pula untuk kepentingan satu bangsa dengan menindas bangsa lain. Kalaupun peperangan harus terjadi, maka semua yang tidak terlibat langsung harus dipelihara. Pohon dilarang ditebang, lingkungan jangan dinodai, anak-anak, orang tua dan wanita harus dihormati, dan akhirnya bila ada ajakan damai, maka ajakan itu harus disambut. “Jika mereka condong pada perdamaian, maka condong pulalah kepadanya dan berserah dirilah kepada Allah…Jika mereka bermaksud menipumu maka cukuplah Allah sebagai pelindungmu” (QS 8: 61-62).

Perdamaian dunia adalah dambaan Islam. Ini bermula dari kedamaian jiwa setiap pribadiyang kemudian meningkat kepada kedamaian dalam keluarga kecil, masyarakat, dan bangsa hingga seluruh bangsa di dunia. Bahkan hal itu diharapkan terus meningkat sampai terwujudnya kedamaian dengan seluruh makhluk yang berpuncak dengan kedamaian di negeri yang kekal atas anugerah Yang Mahaesa. Itulah yang selalu dimohonkan oleh Nabi SAW dan diajarkan kepada umatnya setiap selesai sholat: “Ya Allah Engkaulah Yang Mahadamai, dari-Mu bersumber kedamaian. Tuhan kami! Hidupkanlah kami dengan penuh kedamaian dan masukkanlah kami (kelak) di surge-Mu, negeri yang penuh kedamaian. Engkau Pemelihara kami, Pemilik keagungan dan kemurahan”.

Daftar Pustaka

Al-Ghozali, 1999, “Tauhidullah: Risalah Suci Hujjatul Islam”, Risalah Gusti: Surabaya.

Aziz, Abdul, 1998, “Tauhid”, Direktorat Percetakan dan Penerbitan Departemen Agama Arab Saudi: Riyadh.

Shihab, Quraisy, 1995, “Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan”, Penerbit Mizan: Bandung.

No comments:

Post a Comment

Sampaikan Salam Anda