SOLUSI YANG SOLUTIF?
“PADAM lagi, padam lagi”. Itulah kalimat yang sering dikeluhkan masyarakat ketika berbicara tentang PLN. Kesan itu melekat sebagai akumulasi kekecewaan akibat seringnya pemadaman aliran listrik.
"Dengan kenaikan tarif kami harapkan PLN bisa menurunkan kebocoran dari sebelumnya 11-12 %," kata Menteri Negara BUMN, Mustafa Abubakar usai menjadi pembicara kunci pada "Workshop Modul Wirausaha Mandiri 2010", di Jakarta, Kamis (1/7).
Belum tuntas permasalahan konversi minyak tanah ke elpiji, rakyat yang masih tergagap-gagap dengan seringnya tabung gas yang meledak harus terguncang lagi akibat adanya kebijakan kenaikan tarif daya listrik (TDL). Hampir setiap tahun, selalu ada kebijakan-kebijakan yang menggoncang nasib rakyat, lebih khususnya lagi terhadap rakyat kecil.
Kenaikan TDL sebesar 10% yang dibebankan kepada pengguna daya di atas 1300 W, ternyata dirasakan pula imbasnya oleh rakyat kecil. Meski bukan dampak secara langsung, rakyat kecil menikmati pahitnya dampak kenaikan TDL. Layaknya pasca kenaikan BBM beberapa waktu lalu, kenaikan TDL pun membawa dampak yang tidak sedikit bagi rakyat.
Sebuah Sebab
Naiknya tarif TDL bukan kebijkan yang dibuat tanpa alasan.“Harus dipahami bahwa energi itu mahal, pemakaian bahan bakar primer sebagai pembentuk energi listrik seperti, bahan bakar minyak dan batubara harganya semakin lama semakin mahal", demikian diungkapkan Manteri ESDM, Darwin Saleh seperti dilansir situs Kementerian ESDM, Jumat (2/7).
PLN seakan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya bergantung kepada 5-6 perusahaan besar yang menguasai pangsa pasar 80 % batu bara di Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan batu baranya, Sedangkan investasi baru sangat sulit didapatkan. Pemerintah seperti powerless dan tidak berdaya karena terjebak oleh regulasi di bidang energi yang sudah mengglobal.
Berdasarkan data yang diperoleh pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuan unit 1 dan 2, PLTU Labuan mengkonsumsi batu bara sebagai bahan bakar sebanyak 180 kg per jam untuk daya sebesar 300 Mw. Jumlah batu bara tersebut setara dengan pemakaian 69.000 liter per jam BBM. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa biaya operasi yang harus ditanggung PLN jika menggunakan batu bara adalah Rp 48. 692.340,00 per jam, sedangkan jika menggunakan BBM sebesar Rp 402.649.500,00 per jam.
Penggunaan sejumlah biaya tersebut tidak sebanding dengan pemasukan yang ada. Biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik seharusnya sama dengan TDL yang dibayarkan konsumen. Namun, saat ini TDL masih di bawah BPP sehingga untuk menutupi kekurangannya dipenuhi melalui subsidi. Alokasi subsidi listrik berdasarkan UU No.2 tahun 2010 tentang APBN-P 2010 adalah sebesar Rp 55,1 triliun. Kenaikan TDL sebesar 10% terhitung mulai 1 Juli 2010 adalah untuk menutupi kekurangan kebutuhan subsidi Rp 4,8 trilliun. Sekiranya kenaikan TDL sebesar 10% mengalami penundaan akan menambah anggaran subsidi Rp 800 miliar per bulan.
Selain meningkatkan kinerja dan layanan, yang penting dari keputusan kenaikan TDL tersebut adalah dapat meringankan beban APBN. Menurut Meneg BUMN, kenaikan tarif tidak akan memberi dampak negatif terhadap pelanggan kecil pengguna daya 450-900 watt. Namun, apakah semua sesuai dengan prediksinya?
Dampak
Kenaikan TDL, dipercaya atau tidak, akan memicu banyak komentar dan mengundang keluh kesah rakyat. Bagaiman tidak, setelah diperhitungkan lagi dampak negatif dari kebijakan ini sangat fatal. Kenaikan itu diprediksi akan berdampak terhadap tergerusnya inflasi sebesar 0,6-1,3 persen sehingga angka inflasi diperkirakan melampaui target 4,5 persen tahun 2010.
Mungkin pemerintah belum mempertimbangkan hal ini, bahwa yang banyak terkena dampak kebijakan itu adalah para pelaku ekonomi di bawah. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya membentuk gugus tugas memantau dampak kenaikan TDL dan menyiapkan sejumlah paket kebijakan insentif untuk golongan ekonomi lemah. Jika pemerintah terlambat mengantisipasi kebijakan kenaikan TDL, dampak susulan akan sulit dikendalikan karena bisa mengakibatkan mengendurnya investasi, pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor formal dan hilangnya 1,7 juta jiwa mata pencaharian karena ketidakmampuan bersaing dalam pasar.
Mengingat prediksi tersebut, seharusnya pengamanan diberikan kepada sektor UKM dan kementrian koperasi memang seharusnya bekerja lebih keras lagi untuk memantau ketidakstabilan yang akan timbul akibat kenaikan TDL tersebut sebagai bentuk antisipasi.
Fakta
Pemerintah yang berharap banyak terhadap kenaikan TDL, tak lain dan tak bukan hanya merupakan angan yang jauh dari harapan. Terlalu banyak kecaman dari berbagai pihak, baik mahasiswa, anggota dewan, maupun yang keluar langsung dari mulut rakyat. Kabar kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 10% mulai 1 Juli, ternyata menyentak dan mengakibatkan kalangan dunia usaha maupun masyarakat kecewa dan kian was-was. Dunia usaha, khususnya sektor industri resah karena langsung terancam kehilangan besaran laba, sementara para pekerja dan buruh pabrik resah karena langsung dibayang-bayangi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Fakta yang terjadi adalah kenaikan TDL sebesar 10% sejak 1 Juli ini secara matematis justru akan menambah pendapatan PT PLN sebesar Rp 160 miliar. Angka tersebut merupakan selisih dari perolehan penjualan listrik sebesar 144,52 TWh pertahunnya atas total pendapatan Rp 10,06 triliun selama ini, dengan angka defisit subsidi sebesar Rp 4,87 triliun. Pertambahan pendapatan itu diperoleh dari kenaikan TDL masing-masing 10 % untuk pelanggan sosial, 18 % pelanggan rumah tangga, 12 % hingga 16 % untuk pelanggan bisnis, 6 % hingga 15 % pelanggan industri, 15 % hingga 18 % pelanggan pemerintahan, 9 % pelanggan transportasi listrik (KRL), dan 15 % hingga 20 % untuk pelanggan curah (contoh: apartemen, pesta-pesta, acara khusus dan keperluan multiguna lainnya).
“Apakah adil namanya… kalau kenaikan TDL di satu pihak akan membuat PLN langsung meraup keuntungan atas pertambahan pendapatan sebesar Rp160-an miliar, sementara di pihak lain masyarakat atau buruh atau pekerja industri serta merta justru kehilangan pendapatan atau nafkahnya karena di-PHK? Apakah pemerintah selama ini tak menyadari, tanpa rencana atau isu kenaikan TDL pun rakyat atau buruh sebanyak 1.000-an orang sudah terancam PHK selama ini?” ujar Fernando L.Tobing, Ketua DPC Partai Buruh Kota Medan kepada pers di Medan, Selasa (29/6) lalu.
Sebenarnya PLN tidak sepenuhnya salah dalam penetapan kebijakan tersebut. Akan tetapi, yang dipermasalahkan adalah masalah waktu. Banyak pihak yang menyesalkannnya. PLN seolah menaikkan tarif tanpa melihat kondisi yang sedang dialami rakyat saat ini, padahal rakyat sedang dilanda krisis. Lalu, di mana letak sense of crisis-nya?
Pemerintah lebih mengedepankan wewenangnya dengan penuh tanpa perlu melakukan public sharing dengan elemen masyarakat (baik melalui DPRD kabupaten/kota maupun eleman lain) sebelum menaikkan TDL. Selain itu, pemerintah juga tidak melakukan sosialisasi ke masyarakat terlebih dahulu sebelum membuat kebijakan. Sebab, mau tak mau, hal itu akan menaikkan harga produksi barang. Kondisi tersebut bisa memengaruhi daya beli masyarakat menengah ke bawah, belum lagi kebutuhan anak-anaknya memasuki tahun ajaran baru. Beberapa pihak juga mengkhawatirkan kebijakan tersebut akan berimbas pada kenaikan harga sembako, apalagi mendekati hari-hari besar (Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru).
Pemerintah memang berupaya menaikkan harga listrik untuk pelanggan rumah tangga yang menggunakan daya di atas 1.300 Watt. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir ini PLN tidak lagi memasang daya 450 Watt untuk pelanggan barunya. Artinya baik yang kaya maupun miskin, tetap dipaksa PLN untuk menggunakan daya 1.300 Watt dan mereka termasuk yang terkena kenaikan TDL itu.
Apabila ditelusuri lagi, para pengguna listrik yang menggunakan daya lebih besar adalah kalangan industri yang apabila beban operasional mereka bertambah, maka yang akan terjadi adalah pengurangan karyawan atau menaikkan harga jual produk. “Dengan demikian, kembali lagi yang paling menderita adalah masyarakat yang umumnya berada pada level terbawah atau masyarakat miskin yang menjadi konsumen. Jadi, tolong pemerintah agar sesekali turun ke bawah dan dengarkan suara rakyat kecil” kataSekretaris F-PDIP, Bambang Wuryanto.
“PADAM lagi, padam lagi”. Itulah kalimat yang sering dikeluhkan masyarakat ketika berbicara tentang PLN. Kesan itu melekat sebagai akumulasi kekecewaan akibat seringnya pemadaman aliran listrik.
"Dengan kenaikan tarif kami harapkan PLN bisa menurunkan kebocoran dari sebelumnya 11-12 %," kata Menteri Negara BUMN, Mustafa Abubakar usai menjadi pembicara kunci pada "Workshop Modul Wirausaha Mandiri 2010", di Jakarta, Kamis (1/7).
Belum tuntas permasalahan konversi minyak tanah ke elpiji, rakyat yang masih tergagap-gagap dengan seringnya tabung gas yang meledak harus terguncang lagi akibat adanya kebijakan kenaikan tarif daya listrik (TDL). Hampir setiap tahun, selalu ada kebijakan-kebijakan yang menggoncang nasib rakyat, lebih khususnya lagi terhadap rakyat kecil.
Kenaikan TDL sebesar 10% yang dibebankan kepada pengguna daya di atas 1300 W, ternyata dirasakan pula imbasnya oleh rakyat kecil. Meski bukan dampak secara langsung, rakyat kecil menikmati pahitnya dampak kenaikan TDL. Layaknya pasca kenaikan BBM beberapa waktu lalu, kenaikan TDL pun membawa dampak yang tidak sedikit bagi rakyat.
Sebuah Sebab
Naiknya tarif TDL bukan kebijkan yang dibuat tanpa alasan.“Harus dipahami bahwa energi itu mahal, pemakaian bahan bakar primer sebagai pembentuk energi listrik seperti, bahan bakar minyak dan batubara harganya semakin lama semakin mahal", demikian diungkapkan Manteri ESDM, Darwin Saleh seperti dilansir situs Kementerian ESDM, Jumat (2/7).
PLN seakan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya bergantung kepada 5-6 perusahaan besar yang menguasai pangsa pasar 80 % batu bara di Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan batu baranya, Sedangkan investasi baru sangat sulit didapatkan. Pemerintah seperti powerless dan tidak berdaya karena terjebak oleh regulasi di bidang energi yang sudah mengglobal.
Berdasarkan data yang diperoleh pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuan unit 1 dan 2, PLTU Labuan mengkonsumsi batu bara sebagai bahan bakar sebanyak 180 kg per jam untuk daya sebesar 300 Mw. Jumlah batu bara tersebut setara dengan pemakaian 69.000 liter per jam BBM. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa biaya operasi yang harus ditanggung PLN jika menggunakan batu bara adalah Rp 48. 692.340,00 per jam, sedangkan jika menggunakan BBM sebesar Rp 402.649.500,00 per jam.
Penggunaan sejumlah biaya tersebut tidak sebanding dengan pemasukan yang ada. Biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik seharusnya sama dengan TDL yang dibayarkan konsumen. Namun, saat ini TDL masih di bawah BPP sehingga untuk menutupi kekurangannya dipenuhi melalui subsidi. Alokasi subsidi listrik berdasarkan UU No.2 tahun 2010 tentang APBN-P 2010 adalah sebesar Rp 55,1 triliun. Kenaikan TDL sebesar 10% terhitung mulai 1 Juli 2010 adalah untuk menutupi kekurangan kebutuhan subsidi Rp 4,8 trilliun. Sekiranya kenaikan TDL sebesar 10% mengalami penundaan akan menambah anggaran subsidi Rp 800 miliar per bulan.
Selain meningkatkan kinerja dan layanan, yang penting dari keputusan kenaikan TDL tersebut adalah dapat meringankan beban APBN. Menurut Meneg BUMN, kenaikan tarif tidak akan memberi dampak negatif terhadap pelanggan kecil pengguna daya 450-900 watt. Namun, apakah semua sesuai dengan prediksinya?
Dampak
Kenaikan TDL, dipercaya atau tidak, akan memicu banyak komentar dan mengundang keluh kesah rakyat. Bagaiman tidak, setelah diperhitungkan lagi dampak negatif dari kebijakan ini sangat fatal. Kenaikan itu diprediksi akan berdampak terhadap tergerusnya inflasi sebesar 0,6-1,3 persen sehingga angka inflasi diperkirakan melampaui target 4,5 persen tahun 2010.
Mungkin pemerintah belum mempertimbangkan hal ini, bahwa yang banyak terkena dampak kebijakan itu adalah para pelaku ekonomi di bawah. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya membentuk gugus tugas memantau dampak kenaikan TDL dan menyiapkan sejumlah paket kebijakan insentif untuk golongan ekonomi lemah. Jika pemerintah terlambat mengantisipasi kebijakan kenaikan TDL, dampak susulan akan sulit dikendalikan karena bisa mengakibatkan mengendurnya investasi, pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor formal dan hilangnya 1,7 juta jiwa mata pencaharian karena ketidakmampuan bersaing dalam pasar.
Mengingat prediksi tersebut, seharusnya pengamanan diberikan kepada sektor UKM dan kementrian koperasi memang seharusnya bekerja lebih keras lagi untuk memantau ketidakstabilan yang akan timbul akibat kenaikan TDL tersebut sebagai bentuk antisipasi.
Fakta
Pemerintah yang berharap banyak terhadap kenaikan TDL, tak lain dan tak bukan hanya merupakan angan yang jauh dari harapan. Terlalu banyak kecaman dari berbagai pihak, baik mahasiswa, anggota dewan, maupun yang keluar langsung dari mulut rakyat. Kabar kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 10% mulai 1 Juli, ternyata menyentak dan mengakibatkan kalangan dunia usaha maupun masyarakat kecewa dan kian was-was. Dunia usaha, khususnya sektor industri resah karena langsung terancam kehilangan besaran laba, sementara para pekerja dan buruh pabrik resah karena langsung dibayang-bayangi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Fakta yang terjadi adalah kenaikan TDL sebesar 10% sejak 1 Juli ini secara matematis justru akan menambah pendapatan PT PLN sebesar Rp 160 miliar. Angka tersebut merupakan selisih dari perolehan penjualan listrik sebesar 144,52 TWh pertahunnya atas total pendapatan Rp 10,06 triliun selama ini, dengan angka defisit subsidi sebesar Rp 4,87 triliun. Pertambahan pendapatan itu diperoleh dari kenaikan TDL masing-masing 10 % untuk pelanggan sosial, 18 % pelanggan rumah tangga, 12 % hingga 16 % untuk pelanggan bisnis, 6 % hingga 15 % pelanggan industri, 15 % hingga 18 % pelanggan pemerintahan, 9 % pelanggan transportasi listrik (KRL), dan 15 % hingga 20 % untuk pelanggan curah (contoh: apartemen, pesta-pesta, acara khusus dan keperluan multiguna lainnya).
“Apakah adil namanya… kalau kenaikan TDL di satu pihak akan membuat PLN langsung meraup keuntungan atas pertambahan pendapatan sebesar Rp160-an miliar, sementara di pihak lain masyarakat atau buruh atau pekerja industri serta merta justru kehilangan pendapatan atau nafkahnya karena di-PHK? Apakah pemerintah selama ini tak menyadari, tanpa rencana atau isu kenaikan TDL pun rakyat atau buruh sebanyak 1.000-an orang sudah terancam PHK selama ini?” ujar Fernando L.Tobing, Ketua DPC Partai Buruh Kota Medan kepada pers di Medan, Selasa (29/6) lalu.
Sebenarnya PLN tidak sepenuhnya salah dalam penetapan kebijakan tersebut. Akan tetapi, yang dipermasalahkan adalah masalah waktu. Banyak pihak yang menyesalkannnya. PLN seolah menaikkan tarif tanpa melihat kondisi yang sedang dialami rakyat saat ini, padahal rakyat sedang dilanda krisis. Lalu, di mana letak sense of crisis-nya?
Pemerintah lebih mengedepankan wewenangnya dengan penuh tanpa perlu melakukan public sharing dengan elemen masyarakat (baik melalui DPRD kabupaten/kota maupun eleman lain) sebelum menaikkan TDL. Selain itu, pemerintah juga tidak melakukan sosialisasi ke masyarakat terlebih dahulu sebelum membuat kebijakan. Sebab, mau tak mau, hal itu akan menaikkan harga produksi barang. Kondisi tersebut bisa memengaruhi daya beli masyarakat menengah ke bawah, belum lagi kebutuhan anak-anaknya memasuki tahun ajaran baru. Beberapa pihak juga mengkhawatirkan kebijakan tersebut akan berimbas pada kenaikan harga sembako, apalagi mendekati hari-hari besar (Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru).
Pemerintah memang berupaya menaikkan harga listrik untuk pelanggan rumah tangga yang menggunakan daya di atas 1.300 Watt. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir ini PLN tidak lagi memasang daya 450 Watt untuk pelanggan barunya. Artinya baik yang kaya maupun miskin, tetap dipaksa PLN untuk menggunakan daya 1.300 Watt dan mereka termasuk yang terkena kenaikan TDL itu.
Apabila ditelusuri lagi, para pengguna listrik yang menggunakan daya lebih besar adalah kalangan industri yang apabila beban operasional mereka bertambah, maka yang akan terjadi adalah pengurangan karyawan atau menaikkan harga jual produk. “Dengan demikian, kembali lagi yang paling menderita adalah masyarakat yang umumnya berada pada level terbawah atau masyarakat miskin yang menjadi konsumen. Jadi, tolong pemerintah agar sesekali turun ke bawah dan dengarkan suara rakyat kecil” kataSekretaris F-PDIP, Bambang Wuryanto.
No comments:
Post a Comment
Sampaikan Salam Anda