Wednesday 11 April 2012

MENIMBANG MORALITAS

Oleh Immawati Zazak Soraya

Bertinta merah, tertulis tujuan IMM dalam Kartu Tanda Anggota “Mengusahakan terbentuknya akademisi islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah”Sudahkan itu terpatri dalam diri setiap kader IMM yang tersebar hampir di seluruh nusantara ini?

Mengikuti sebuah organisasi kemahasiswaan berbasis agama (Islam-red) jelas berbeda dibandingkan organisasi nasional atau lainnya. Tidak hanya berusaha untuk menjalankan dan mengembangkan organisasi dengan baik tetapi juga ada misi agama di dalamnya atau bisa dikatakan organisasi menjadi ladang untuk berdakwah. Begitu juga dengan IMM yang secara eksplisit memang merupakan organisasi kemahasiswaan berbasis Islam. Maka tak ayal lagi setiap kader IMM diharapkan dapat menjadi seorang pribadi yang tidak hanya unggul dalam intelektual dan cakap dalam beramal tetapi juga harus anggun dalam moral. Maka kemudian menjadi kader IMM yang kaffah idealnya memang berada dalam 1 package seperti ada pada trinitas IMM (religiusitas, humanitas, intelektualitas). Dan kesemuanya harus berjalan seimbang. Sayangnya, idealitas tidak selalu berjalan beriringan dengan realitas. Masih saja kita temui ada kader yang masih jauh panggang dari api sebuah kata ideal.

Proses untuk menjadi seorang kader yang sesungguhnya memang tidak hanya didapat dalam hitungan hari atau bulan saja. Bahkan mungkin meski telah menjadi alumnus proses itu masih juga belum selesai. Alangkah bijaknya jika setiap kader terus belajar untuk senantiasa menjadi seorang muslim sebenarnya dengan atau tanpa embel-embel organisasi.

Kesadaran Moral

Gempuran globalisasi tak ayal juga mempengaruhi perkembangan moralitas seeseorang. Barat menjadi kiblat bagi hampir semua kalangan terutama anak muda baik dalam hal perilaku, cara berpakaian, dsb di negara ini. Sayangnya, yang ditiru adalah hal – hal yang bisa berdampak buruk pada masa depan mereka, seperti : narkoba, pergaulan bebas, dsb dan bukan budaya yang berdampak baik, misalnya budaya baca. Maka tidak mengherankan jika saat ini banyak orang yang berpendapat bahwa moralitas bangsa ini benar – benar berada dalam keadaan collaps. Karena baik – buruknya suatu bangsa dapat diukur, salah satunya dengan keadaan moralitas bangsa tersebut.

Moralitas dalam pandangan Imam Al-Ghazali adalah tingkah laku seseorang yang muncul secara otomatis berdasarkan kepatuhan dan kepasrahan pada pesan (ketentuan) Allah Yang Maha Universal. Hal ini juga senada dengan Immanuel Kant, salah seorang filsuf Barat bahwa moralitas tidak hanya sekedar penyesuaian dengan semua aturan dari luar (adat istiadat, negara, agama) tapi juga masalah keyakinan dan sikap batin. Artinya ketaatan pada peraturan belum menjadi jaminan kualitas moral tersebut. Persoalan yang menentukan dalam moralitas adalah apa yang membuat manusia menjadi baik. Bukan lagi bagaimana seorang manusia itu bisa menjadi bahagia. Yakni, adanya kehendak baik dimana ada kemauan melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri tanpa tendensi apapun.

Sebagai kader Muhammadiyah yang berasakan Islam, maka apapun yang dilakukan juga berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Meneladani akhlak Rasulullah SAW adalah salah satunya. Seperti dalam firman Allah dalam Q.S Al-Kalam : 4, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar – benar berakhlak agung”. Maka kemudian kader IMM diharapkan dapat menjadi uswah hasanah minimal di lingkungan terdekatnya. Mengapa demikian? karena kader-kader IMM adalah penerus perjuangan Muhammadiyah untuk berdakwah amar ma’ruf nahi munkar menuju peradaban utama. Jadi sangat menyedihkan jika ada kader IMM yang justru menjadi parasit dalam suatu masyarakat. Na’udzubillah.

Maka ucapan Kant pada karyanya Kritik der praktischer Vernhunft yang terukir di prasastinya di Konisberg, Jerman menjadi sebuah refleksi : “

“Zwei Dinge erfullen das Gemut mit immer neuer und zunehmender Bewunderung und Ehrfurcht, je ofter und anhaltender sich das Nachdenken damit beschaftigt: der bestirnte Himmel uber mir und das moralische Gesetz in mir.”

(Dua hal memenuhi hati sanubari dengan rasa takjub dan takzim yang senantiasa baru dan semakin bertambah, dengan kedua hal inilah pemikiran menyibukkan diri tanpa henti: Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku)

A. Riwayat Hidup

Immanuel Kant lahir pada tanggal 22 April 1724 di Konigberg, ibu kota Prussia Timur, Jerman (sekarang Kaliningrad, masuk wilayah Russia), daerah yang tidak pernah ditinggalkan Kant seumur hidupnya.

Orang tua Kant adalah penganut setia gerakan Pietisme (sebuah gerakan keagamaan dalam Protestanisme Jerman abad ke-18. Pietisme sangat menekankan kesalehan hidup sehari-hari, sikap batin yang baik dan moralitas yang keras. Inti pokok ajarannya adalah hubungan pribadi dan individual dengan Tuhan melalui pembacaan Kitab suci dan pengudusan hidup melalui pelaksanaan kewajiban).

Pada usia 8 tahun Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Friedericianum (sekolah yang berlandaskan semangat Pietisme). Tahun 1740 (umur 16 tahun) ia belajar filsafat, matematika, ilmu pengetahuan alam dan teologi. Pada tahun 1755 (umur 31 tahun) ia mendapatkan gelar doktor dengan disertasi berjudul “Meditationum quarundum de igne succinta delineatio” (Uraian Singkat atas Sejumlah Pemikiran tentang Api). Pada bulan Maret tahun 1770 Kan mendapat gelar Profesor logika dan metafisika dengan disertasi “De mundi sensibilis atque intenlligibilis forma et principiis (Tentang Bentuk dan Asas-Atas dari Dunia Indrawi dan Dunia Akal Budi). Pada hari Minggu tanggal 12 Februari 1804 pukul 11 siang Kant meninggal dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di serambi sampin gereja induk kota Koningsberg.

Karya-karya Kant yang terkenal antara lain:

  • Grundlegung zur Metaphysik der Sitten (Pendasaran Metafisika Kesusilaan, 1785)
  • Kritik der praktischen Vernunft (Kritik atas Budi Praktis, 1788)
  • Kritik der Urteilskraft (Kritik atas Daya Pertimbangan, 1790)
  • Zum ewigen Frieden (Menuju Perdamaian Abadi, 1795)

B. Pandangan Etika Kant

1. Kehendak Baik

Pertanyaan Inti etika Kant adalah apa yang baik pada dirinya sendiri? Kant menolak pola etika-etika sebelumnya yang berpusat pada pertanyaan tentang bagaimana manusia harus hidup agar ia bahagia. Menurut Kant, persoalan yang menentukan dalam moralitas adalah apa yang membuat manusia menjadi baik.

Apa yang baik pada dirinya sen “Zwei Dinge erfullen das Gemut mit immer neuer und zunehmender Bewunderung und Ehrfurcht, je ofter und anhaltender sich das Nachdenken damit beschaftigt: der bestirnte Himmel uber mir und das moralische Gesetz in mir.” (Dua hal memenuhi hati sanubari dengan rasa takjub dan takzim yang senantiasa baru dan semakin bertambah, dengan kedua hal inilah pemikiran menyibukkan diri tanpa henti: Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku). Semoga kita senantiasa menjadi umat yang senatiasa membumikan kebaikan (fastabiqul khairaat) dimanapun berada dan bukan termasuk golongan yang mendapat peringatan Tuhan sebagaimana dalam firman-Nya : “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa – apa yang tidak kamu kerjakan” (Q.S As-Shaf : 3)

No comments:

Post a Comment

Sampaikan Salam Anda