Hakikat Merdeka; Refleksi HUT RI ke-65
Oleh : M. Isa Thoriq Amrullah*
Sekali merdeka, setelah itu mati. Sebuah ungkapan dari Chairil Anwar yang sedikit menggelitik bisa menjadi refleksi kita bersama. Benarkan kita sudah merdeka?Merdeka dari korupsi, penjarahan hutan, pengusuran lahan, dsb?
65 Tahun bangsa ini tercatat sebagai negara yang merdeka, setelah melalui perjuangan panjang dalam lintasan sejarah melawan imperialisme. Memang perlu diakui bahwa bangsa kita termasuk bangsa yang tua karena sejarah perjuangannya. Bahkan barangkali peradaban kita lebih tua daripada peradaban barat.
Dahulu, negara ini selalu dipuji dengan sebuah kalimat indah “Gemah Ripah Loh Jinawi, Subur kang Sarwa Tinandur, Murah kang Sarwa Tinuku, Tata Tentrem Kerta Raharja” yakni sebuah wilayah pemerintahan yang makmur, sentosa, sejahtera ,dan menciptakan ketentraman. Para perumus negara republik ini telah bekerja keras untuk membentuk sebuah negara dengan berkorban keringat, harta, pikiran hingga jiwa, demi sebuah negara merdeka dan berdaulat.
Negara Sebagai wadah
Negara merupakan sebuah wadah untuk membentuk masyarakat. Analoginya, Soekarno dan kawan-kawannya saat itu hanya membentuk sebuah wadah yang diberi landasan Pancasila dan menggunakan demokrasi sebagai alat pengolahnya. Lantas,bagaimana membentuk masyarakat yang ada dalam wadah itu?. Pertanyaan yang sulit, setidaknya hal ini diakui oleh Soekarno sendiri bahwa membentuk wadah lebih mudah daripada membentuk masyarakat (Soekarno, 1955)
Wadah ini diperuntukan kepada masyarakat luas, untuk bersama menikmati kehidupan dengan sejahtera dan aman. Pemerintah yang bertugas untuk mengoperasionalkan wadah beserta instrumennya,pemerintahlah yang bertanggungjawab atas kesejahteraan ratusan juta penduduk Indonesia. Dalam bahasa Emha, dikatakan pemerintahlah yang “nyunggi wakul”. Pemerintah berdasarkan sistem demokrasi yang dipilih merupakan pemegang mandat rakyat untuk menjalankan pemerintahan. Dalam Pembukaan UUD 1945 dikatakan tujuan pemerintah adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, pemerintah adalah wakil kita, wakil rakyat yang diberi tugas untuk mensejahterakan kita. Perlu diingat logikanya adalah kita yang memberi mereka tugas, mereka yang berkerja, kita yang memberinya tugas untuk kerja. Kitalah yang mempekerjakan mereka. Nah, dengan logika seperti ini, maka sebagai masyarakat kita berwenang untuk mengawasi mengkritik, bahkan mendelegitimasi pemerintah jika mereka menyeleweng kan amanat yang telah kita berikan.
Momentum kemerdekaan yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan mengingatkan kita kepada persis 65 tahun silam pada deklarasi kemerdekaan yang dibaca dalam suasana pejuang yang sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Maka, pada usia yang ke 65 tahun ini, banyak persoalan yang belum tuntas, demokrasi yang tersendat-sendat, ideologi yang kabur, supremasi hukum yang lemah, budaya yang absurd serta seabrek persoalan lain. Lagi-lagi sebagai mahasiswa yang mempunyai mandat intelektual ada kewajiban untuk terus belajar dan berjuang, berpikir dan beramal, untuk kehidupan masyarakat. Gramsci mengatakan intelektual bukanlah seseorang yang terpenjara dalam wilayah akademisnya semata, namun dapat memerdekakan pikirannya untuk membela dan berpihak kepada kaum tertindas. Dalam bahasa yang lebih heroik, Ziaudin Sardar menyerukan jihad intelektual kepada para pelajar dan pemikir, bukan menjadi pecundang yang hanya bangga dengan keacuhannya.
Wadah ini diperuntukan kepada masyarakat luas, untuk bersama menikmati kehidupan dengan sejahtera dan aman. Pemerintah yang bertugas untuk mengoperasionalkan wadah beserta instrumennya,pemerintahlah yang bertanggungjawab atas kesejahteraan ratusan juta penduduk Indonesia. Dalam bahasa Emha, dikatakan pemerintahlah yang “nyunggi wakul”. Pemerintah berdasarkan sistem demokrasi yang dipilih merupakan pemegang mandat rakyat untuk menjalankan pemerintahan. Dalam Pembukaan UUD 1945 dikatakan tujuan pemerintah adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, pemerintah adalah wakil kita, wakil rakyat yang diberi tugas untuk mensejahterakan kita. Perlu diingat logikanya adalah kita yang memberi mereka tugas, mereka yang berkerja, kita yang memberinya tugas untuk kerja. Kitalah yang mempekerjakan mereka. Nah, dengan logika seperti ini, maka sebagai masyarakat kita berwenang untuk mengawasi mengkritik, bahkan mendelegitimasi pemerintah jika mereka menyeleweng kan amanat yang telah kita berikan.
Momentum kemerdekaan yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan mengingatkan kita kepada persis 65 tahun silam pada deklarasi kemerdekaan yang dibaca dalam suasana pejuang yang sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Maka, pada usia yang ke 65 tahun ini, banyak persoalan yang belum tuntas, demokrasi yang tersendat-sendat, ideologi yang kabur, supremasi hukum yang lemah, budaya yang absurd serta seabrek persoalan lain. Lagi-lagi sebagai mahasiswa yang mempunyai mandat intelektual ada kewajiban untuk terus belajar dan berjuang, berpikir dan beramal, untuk kehidupan masyarakat. Gramsci mengatakan intelektual bukanlah seseorang yang terpenjara dalam wilayah akademisnya semata, namun dapat memerdekakan pikirannya untuk membela dan berpihak kepada kaum tertindas. Dalam bahasa yang lebih heroik, Ziaudin Sardar menyerukan jihad intelektual kepada para pelajar dan pemikir, bukan menjadi pecundang yang hanya bangga dengan keacuhannya.
* Mantan Ketua Umum PC IMM Kota Semarang perioe 2009/2010
No comments:
Post a Comment
Sampaikan Salam Anda